Selasa, 14 April 2009

Si Sakti

PERNAH merasa bertemu si Sakti? Ya Sakti, di mana kebenaran seakan tercetak di keningnya. LAHIR UNTUK BENAR, kira-kira begitu stempelnya. Gw sendiri pernah punya pengalaman dengan varian mental kaya gini. Salah satunya saat kita terlibat perdebatan, dan dia menyahuti setiap kalimat seperti lutung yang tengah merebut ketela rambat. Dia berkilah dengan segala cara, sekaligus menyatakan dirinya benar [tentu dengan definisi yang dibuatnya sendiri]. Boro-boro meminta maaf, mengaku salah saja tidak.

Gw setuju, setiap orang punya hak untuk bicara, dan mengungkapkan pendapat yang diyakini benar. Masalahnya, terkadang atas nama hak, kepentingan orang lain–untuk diakui benar–kerap dilanggar. Gw pribadi lumayan pengecut untuk menyenggol [apalagi] merampas hak kebenaran orang lain. Tapi jangan pernah berharap [sedikitpun!] gw akan diam saat hak gw dirampas. *bukan mau gaya-gayaan jadi wasit etika untuk urusan ini*

Percakapan dimulai. Dalam sekejap dia jadi "tong kosong super duper nyaring". Dan setelah gw cermati kata-katanya, sekaligus menikmati volume dan isinya yang berlebihan, baru keliatan kalau fungsi nyaring tersebut untuk menutupi kesalahannya. Maklum juga siy, biasanya yang salah emang lebih nyaring. Meski gw udah setenang lautan dan enggak terlalu ngotot menuntut pengakuan, tetep aja dia terus menghujam batu karang kesabaran.

Keangkuhannya terlalu kokoh untuk mendengar penjelasan gw. Yah, as I walk, I think about a new way to walk. Meski dengan sangat terpaksa [karena mungkin merasa sebagian diri gw sudah mengkhianati bagian diri gw yang lain] gw anggep ini sebagai latihan memiliki jiwa seluas langit. Sabar dan doakan. Cuma itu yang bisa gw lakukan. Meski engga langsung terasa manfaatnya, toh hal itu bukan pilihan investasi merugikan… Enjoy :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar